Baik, Buruk dan yang Mengikutinya
Source: unsplash.com |
Menolong adalah contoh kebaikan, mencuri adalah contoh keburukan. Sedini mungkin, pasti kita semua sudah diajarkan untuk bisa membedakan mana hal yang masuk kategori baik dan mana yang buruk.
Saat masih kecil, mungkin batasan untuk menentukan mana yang baik atau buruk cukup jelas. Kenapa bisa terasa begitu? Menurut saya, karena contoh yang kita ketahui terbatas, karena ruang gerak dan eksplorasi kita pun terbatas. Ambil contoh tentang bermain PS atau Playstation.
Saat masih sekolah dasar dulu, banyak anggapan bahwa bermain PS itu sama dengan meningkatkan kemungkinan untuk menjadi bodoh di pelajaran sekolah. Kenapa anggapan muncul? Karena terdapat beberapa buktinya. Dan kita dulu susah membantah karena mungkin belum banyak yang kita tahu sehingga tidak bisa memberikan argumen.
Setelah bertambah usia, banyak cerita dari teman-teman yang jago bahasa inggris justru karena mendengarkan dialog dan membaca teks di game PS. Anggapan bahwa bermain PlayStation membuat bodoh tidak lagi relevan bagi saya.
Contoh lain: Terbiasa mendapat kemudahan.
Di awal, saat menerima berbagai kemudahan, seperti bisa meminta dan mendapatkan barang apapun dengan mudah dari orang tua, semua itu akan kita anggap sebagai hal baik. Kita menganggap orang tua memberikan kasih sayang terbaiknya kepada kita lewat barang-barang tersebut.
Di kemudian hari, saat kemudahan itu mungkin sulit atau tidak lagi didapatkan, apa yang terjadi pada anak yang terbiasa mendapatkan kemudahan itu? Cukup banyak cerita yang berakhir dengan mereka tidak tahu bagaimana ketika harus menghadapi masalah.
Hal yang dianggap baik, ternyata berujung buruk di kemudian hari.
Contoh lain lagi: Pilihan Jurusan Kuliah.
Saya sempat menganggap, pilihan jurusan kuliah yang saya ambil (Teknik Informatika) akan sulit saya jalani dan khawatir tidak bisa mendapatkan manfaat dari pilihan tersebut. Poin pertama terbukti. Empat tahun masa kuliah saya lewati dengan cukup kerja keras dan susah payah.
Poin kedua, ternyata anggapan awal saya keliru. Saya justru mendapat banyak manfaat dari pilihan tersebut, seperti mendapatkan berbagai pengalaman kerja yang cukup berguna sampai sekarang, mendapatkan koneksi yang bisa saling berbagi manfaat, dan pastinya wawasan.
Source: unsplash.com |
Baik dan Buruk, semakin dewasa batasnya semakin abu-abu. Rasanya kita tidak akan pernah benar-benar bisa memastikan sebuah hal yang kita pilih atau dapatkan adalah hal baik atau hal buruk, sampai kita menjalaninya.
Akan selalu ada dua konsekuensi yang mengikutinya: yang dirasakan sekarang dan yang nanti.
Tapi kalau mau coba diambil rumusnya, sepertinya bisa disimpulkan begini:
Hal baik (manfaat di kemudian hari) = susah payah sekarang + perkembangan tiap harinya
Hal buruk (kerugian di kemudian hari) = mudah sekarang + penurunan kebahagiaan
Rumus di atas tentu hanya berdasarkan pengalaman saya saja. Dan, tidak bisa diterapkan ke semua hal, contohnya seperti sedekah dan memberikan bantuan ke mereka yang butuh.
●●●
Penutup
Setelah menceritakan beberapa contoh dan menemukan rumus saya sendiri, ada satu hal lagi yang mungkin bisa menjadi acuan apakah sebuah hal baik atau buruk. Yaitu menggunakan hati nurani. Jika kita bisa merasakan bahwa sebuah hal akan merugikan kita dan banyak orang, itu buruk.
Tapi jika kita merasa bahwa sebuah hal akan membawa lebih banyak manfaat kepada kita dan banyak orang, maka itu baik, entah kita bisa mendapatkan manfaatnya secara langsung atau nanti.
⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼
Baca artikel terkait:
Comments
Post a Comment